Etika Bermedia Sosial: Belajar Dari Kasus Eko Kuntadhi dan Ning Imaz

Lets Share:

Aktif dalam media sosial bagi sebagian besar penduduk dunia saat ini sudah merupakan sebuah kebutuhan.  Dilansir dari We Are Social, pengguna media sosial di Januari tahun 2021 angkanya mencapai 4,2 milyar dan diperkirakan tumbuh sebesar 13,2 % di tahun 2022 ini. Termasuk di Indonesia, data tahun 2021 menyebutkan ada 202,616,716 juta pengguna media sosial di Indonesia. Negara kita tercatat sebagai salah satu negara dengan tingkat pengguna media sosial tertinggi, setelah Tiongkok, India, dan Amerika Serikat.

Dilansir dari Statista, data terbaru Januari 2022 mencatat media sosial dengan pengguna terbesar aktif terbesar di seluruh dunia berturut-turut adalah Facebook (2,9 miliar), YouTube (2,56 miliar), Whatsapp (2 miliar), Instagram (1,48 miliar), dan Tiktok (1 miliar). Well, jika kita melihat data ini, tidak salah juga joke yang mengatakan Mark Zurkerbeg (Pendiri dan CEO Facebook) sesungguhnya adalah “Presiden Dunia” menimbang ada 2,9 miliar pengguna Facebok dari 7, 753 miliar penduduk dunia.

Selain 5 besar media sosial di atas,  salah satu platform media sosial yang populer di dunia adalah Twitter yang didirikan oleh Jack Dorsey pada Maret 2022. Dikutip dari We Are Social, pengguna Twitter di Indonesia saat ini mencapai 18,45 juta pada 2022 dan jumlah tersebut setara dengan 4,23% dari total pengguna Twitter di dunia yang mencapai 436 juta dan berada di urutan ke 15 di dunia.

Dalam hingar-bingar dunia media sosial ini, kita akan berhadapan bukan hanya dengan sisi positif bermedia sosial, namun juga sisi negatifnya. Tsunami berita yang ada setiap hari yang seringkali tidak jelas kebenaran atau sumber beritanya kita hadapi sehari-hari. Berita-berita hoax ini seringkali mencakup gambar/foto/video yang mengandung SARA. Ada banyak sisi negatif lain yang sering terjadi diantaranya Cyberbullying dan Hate Speech.

(Hate Speech (Ucapan Penghinaan/atau kebencian) adalah tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnis, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama, dan lain-lain.)

BACA:  Tetangga Saling Menyangga, Bukan Menyanggah

Terkait dengan sisi kelam internet, dalam buku ‘The New Communication Technology’, Michael Mirabito menyatakan ada 12 ribu pengguna Internet saat ini  yang menjadi korban kejahatan di Internet yang berkenaan dengan: suku bangsa, ras, agama, etnik, orientasi seksual, hingga gender.

Dalam konteks ini, pekan lalu publik Indonesia dihebohkan oleh pernyataan kasar salah seorang pengiat sosial Eko Kunthandi yang ditujukan kepada Neng Imaz. Peristiwa ini bermula saat EK mengunggah video di akun pribadi twitternya untuk menanggapi video yang diunggah Ustadzah Neng Imaz di TikTok NU Online yang berbicara tentang tafsir surah Al Imran : ayat 14.

EK mengunggah kembali video Ning Imaz tersebut di twitternya pada Rabu (14/9) dengan menambahkan caption kata-katanya sendiri yang sangat kasar dan Redaksi memilih untuk tidak menulis kembali kata-kata kasar tersebut. Kata-kata kasar EK ini pada awalnya juga direspon oleh segilintir orang dan ikut mem-bully Ning Imaz.

Tidak lama berselang, ramai datang pembelaan warganet datang untuk Ning Imaz, diantaranya datang dari Rais Syuriyah Pengurus Cabang Istimewa Nadhlatul Ulama (PCINU) Australia-Selandia Baru, Nardirsyah Hosen atau akrab disapa Gus Nadir dengan cuitannya di Twitter, “Yang anda posting itu video Ning Imaz dari Ponpes Lirboyo, istri dari Gus Rifqil Moeslim. Beda pendapat hal biasa. Tapi gak usah melabeli dengan kata tolol. Posting saja video aslinya. Bukan yang sudah ditambahi kata-kata tolol. Belajarlah untuk santun dalam perbedaan,”

Secara spesifik berkaitan dengan gender, pembelaan kepada Ning Imaz juga datang dari mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti yang menanggapi cuitan EK tersebut di akun twitternya @susipudjiastuti dengan mengatakan hal tersebut adalah pelecehan.

Semestinya pelecehan2 yg seperti ini tidak boleh ditolerir, sangat tidak pantas apalagi dilakukan seseorang yg punya jabatan publik/ setengah publik. Apalah arti kepuasan dg melecehkan wanita??? Diikuti pengikut2 beramai ramai membully ??? Puas ?? Pantas?? Berkaca diri ??

BACA:  27 September Hari Pariwisata Sedunia: Wonderland Indonesia

Sampai berita ini diturunkan, kasus ini masih menjadi wacana yang hangat diperbincangkan di berbagai forum dan tentu di berbagai media sosial. EK sendiri sudah men-take down postingngannya langsung keesokan harinya dan mengatakan sudah meminta maaf Gus Rifqil Moeslim (suami Ning Imaz) dan sowan ke Ponpes Lirboyo pada Kamis (15/9). Pertemuan EK dan pihak Ponpes Lirboyo tersebut menghasilkan 6 Kesepakatan. Menanggapi hal ini, banyak Pengamat Ahli mengatakan proses hukum seharusnya tetap berjalan bagi EK agar menjadi pembelajaran terhadap masyarakat.

Kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi kita, dimana media sosial memang seharusnya menjadi tempat yang menyenangkan bagi semua “penduduknya” dan bukannya menjadi ajang kekerasan apalagi tempat kejahatan. Meski tidak mungkin sempurna 100 % kita menciptakan dunia yang indah tersebut di media sosial kita, tapi kita tetap harus berusaha menjadi bagian dari penduduk media sosial yang mewarnai dengan kebaikan dan keindahan.

Betapa pentingnya kita memiliki etika bermedia sosial, dengan memperhatikan beberapa hal berikut sebelum kita memposting sesuatu atau menanggapi sesuatu hal dalam akun media sosial kita.

Pertama, Memperhatikan Citra Diri (Kehidupan Keluarga, Kehidupan Profesional etc)

Hal ini penting untuk pertama kali menjadi bahan pertimbangan kita. Perlu di ingat, jejak sosial kita akan terus membanyangi kita, bahkan meskipun kita telah menghapus postingan kita atau kita telah meminta maaf atas sesuatu hal yang dipandang merugikan hak orang lain. Jadikan Citra Diri kita sebagai pengendali kita untuk menjadi air yang menyejukkan dan bukannya api yang membakar. Perbedaan pendapat tentu sebuah keniscayaan, tapi bukan berarti kita bisa melontarkan hal-hal negatif apalagi kasar sesuka hati

Kedua, Memperhatikan Nilai Kemanfaatan (Bermanfaat untuk Sesama, bukan hanya golongan apalagi individu)

Nilai kemanfaatan harus menjadi tolak ukur kita juga. Di dunia yang begitu kompleks dengan banyak permasalahan, kenapa kita tidak bisa menjadi bagian dari solusinya, dengan kemampuan masing-masing kita yang berbeda-beda. Kemanfaatan kita dalam media sosial kita akan memberikan pencerahan kepada mereka yang membutuhkan kita tanpa mereka harus bertatap muka atau membayar. Dan itulah seharusnya salah satu fungsi utama media sosial.

BACA:  Saat Daniel Mananta Berdialog Dengan UAS: Merekat Luka Merajut Cinta

Ketiga, Memperhatikan Nilai Kebersamaan (Membangun karakter Pemersatu bukan Pemecah)

Dalam hingar bingar media sosial, kita pastinya tetap akan berkumpul dengan mereka yang memiliki kesamaan dalam visi, misi, hobby, minat dan seterusnya. Berkumpul bersama dalam lingkaran yang memiliki minat dan sikap yang sama adalah insting dasar kita. Namun, kita semua pada dasarnya tetap membutuhkan satu sama lainnya dan disinilah fungsi penting persatuan dan bukan perpecahan. Kita harus terbiasa hidup dalam perbedaan dan saling menghargai agar karakter persatuan  itu menjadi habit kita sehari-hari.

Keempat, Memperhatikan Efek Postingan Kita. (Membangun Empati Sosial dalam Bermedia Sosial)

Orang bijak mengatakan berpikirlah dahulu sebelum berkata. Perenungannya adalah, jika sebelum berkata saja kita harus berpikir, apalagi sebelum bertindak. Prinsip sederhana yang harus kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Kembali kepada kasus Eko Kuntadhi dan Ning Imaz.

Dalam perenungan sederhana Penulis, terbit sebuah pertanyaan, jika kasus ini terjadi pada seseorang (terlepas dia perempuan atau laki-laki) dan dia tidak memiliki kekuatan dibelakangnya untuk membela dirinya, apa dia akan mendapat keadilan, setidaknya menerima permintaan maaf dari pihak lain yang sudah melukainya?


Lets Share:

Leave a Reply