Bersedekah Dengan Diancam? Ke Laut Aja!

Lets Share:

Di suatu sore Ramadhan tahun 2013, saya membeli risol untuk takjil. Saya turun dari taksi, meminta supirnya untuk menunggu.  Karena risol di sini memang enak, saya memilih antri, ada 2 orang bapak-bapak yang sudah lebih dulu antri untuk membeli.

Sebagai gambaran, ini pedagang risol biasa dengan gerobak besar di ujung jalan kompek rumah saya, tetapi dengan harga risol yang lumayan, Rp 5000 per potong.

Dalam kondisi menunggu, saya merasa lengan saya dicolek dan ternyata ada dua laki-laki, dengan baju koko dan rambut gondrong sebahu, menyodorkan buku sumbangan untuk saya.

Well sampai disini, baik-baik saja ceritanya kan?

Dalam kondisi saya sedang memperhatikan buku sumbangan yang masih ada di tangan dia, saya mendongak lagi dan pas yang terlihat saya adalah temannya. Entah mengapa saya merasa tidak enak, sebab ternyata saya sedang, (I feel like that) dipelototi sambil dia berkata, BANTU YA!

Onde mandee jadi ceritanya ini preman berbaju koko? Salah korban Bung! Dengan muka paling jutek sedunia, saya cemberut, menggeleng dan mengangkat tangan, tanda menolak, lalu memalingkan muka.

Reaksi jutek saya membuat mereka berdua langsung ngacir. Nah, kenapa juga mereka nggak minta sumbangan sama dua orang bapak-bapak yang juga sedang beli risol? Jelas-jelas pakaiannya pakaian resmi pulang kerja. O jadi pameo itu masih berlaku ya; Perempuan lebih mudah diancam dan preman masih hitung-hitungan juga rupanya. Begitu sesama laki-laki, lebih baik mereka ngacir, sayangnya mereka salah sasaran sama saya sore itu.

Karena saya tidak sudi diancam, apalagi ketika mereka berkedok seperti itu. Saya pulang kerja dalam keadaan letih, karena macet luar biasa dimana-dimana dan Jumat pekan lalu, saya dan keluarga baru berbuka puasa di sebuah Panti Asuhan di Bekasi. Saya mengingat dengan baik, wajah-wajah ikhlas adik-adik panti di sana. Jadi mau marah kalau ada preman minta uang atas nama Anak Yatim dengan cara seperti itu.

Karena kejadian itu, saya jadi mengingat beberapa kejadian lucu, terkait masalah ancam-ancaman ini.

Entah tahun berapa, saya masih naik kereta, saat masih menjadi Mahasiswi FSUI. Di tahun kedua saya bolak balik setiap hari naik kereta dengan rute Jakarta-Depok.

BACA:  Antara Jabatan dan Koreksi

Di masa itu, di tahun 1995 ke atas, di dalam kereta ramai dengan pengemis, mulai dari tipe A sampai tipe Z.

Saya pribadi selalu memberi jika saya ada.  Bagi saya, entah mereka pura-pura atau tidak, saya memberi semampu saya adalah kewajiban. Jika mereka benar miskin, kita punya kewajiban. Jika dia bohong, Allah lebih tahu tentang hambaNya.

Termasuk soal mereka yang minta sumbangan dengan buku-buku sumbangan seperti di atas, saya biasanya selalu memberi. Tapi kalau dibawah ancaman? Ke laut aja!

Kembali ke cerita tadi.

Dalam kondisi duduk di kereta, saya melihat dua pengemis perempuan cilik melintas antara gerbong, menuju gerbong saya. Pengemis pertama masih sangat kecil, mungkin baru 3 tahun dan dia sedang menangis. Ternyata Subhanallah, (mungkin) kakaknya yang usianya sekitar 5 atau 6 tahun, sedang cubit-cubit punggungnya. Hal ini agar adiknya menangis, yang dengan begitu, harapannya para penumpang kasihan dan mau memberi uang. Luar biasa para gembong pengemis ini dalam “mendidik anak binaan” mereka sampai anak ini bisa “kejam” di usia sekecil itu.

Setelah melintasi gerbong, penumpang pertama yang mereka datangi adalah saya. Saya mengambil tisu, melap ingus adiknya dan memberinya permen.

Saya membelai pipinya sambil bilang, Jangan nangis lagi ya Nak. Dia berhenti nangis masih dengan sesungukan tapi pelan-pelan berhenti dan mau memakan permen saya.

Saya memberikan 1000 rupiah kepada kakaknya. Saya tidak tahu berapa nilainya sekarang karena terakhir saya naik kereta itu mungkin tahun 2000. Sambil menatap tajam kakaknya (atau saya pelototi dia) saya bilang, Adiknya jangan dicubitin lagi ya, awas Tante lihatin dari sini ya, kalau cubit adiknya lagi, tante nanti cubit juga punggung kamu. Kakaknya langsung ngeper dan mengangguk dengan cemberut.

Pengalaman ketiga tentang ancaman ini terjadi ketika saya naik bis Patas AC 804. Kondisinya sama, saat saya pulang kuliah sekitar tahun 2000, seorang preman naik, ngoceh, minta duit, bilang baru keluar dari penjara dan menutup “ceramahnya” dengan bilang, Saya ucapkan selamat jalan dan selamat menikmati akhir pekan yang indah.

Ya ampuuun, ini hari Senin bung! Mabok kok sore-sore.

Dengan BeTe saya langsung ikut antri turun, padahal saya turunnya harusnya 1 lampu merah lagi. Saya tidak sudi kasih 1000 rupiah pun sama tukang mabok seperti itu, karena kalau saya tetap di bangku dan pasti dipaksa dia. (1000 rupiah di masa itu mungkin sekitar 3000 rupiah sekarang).

BACA:  Jangan Pernah Putus Asa

Dalam keadaan antri turun, tahu-tahu pemabok itu sudah di belakang saya dan enak saja colek colek bahu saya. Saya cuek sambil doa dalam hati mohon kesabaran supaya tidak mendadak naik darah lalu saya tendang kakinya, berabe kan ribut sama orang mabok?

Alhamdulillah, ada seorang Bapak bertubuh tinggi besar ikut antri di belakang saya, dengan suara berat dan tegas beliau bilang, Saya mau turun, minggir mas. Eh pemaboknya keok dan mau nyingkir. Nah mabok saja masih bisa mikir, yang ini perempuan yang itu bapak-bapak …onde mande

Dan ada pengalaman paling lucu, serupa tapi tak sama, ketika saya tersasar mau ke RSPP (Rumah Sakit Pusat Pertamina) saat mau menjenguk sepupu yang dirawat.

Karena ke RSPP biasa naik taksi, saya kebingungan saat nyasar di tengah jalan (kronologisnya kenapa sampai nyasar di tengah jalan saya lupa)

Akhirnya saya naik kopaja..karena tinggal satu lampu merah lagi dan katanya baru bisa jalan kaki.

Namun, baru beberapa saat naik kopaja..serombongan preman naik minta sumbangan dan orasi sambil memperlihatkan tangannya yang diperban dan berdarah…Jangan sampai ada paksaan katanya..hargailah kami, kami meminta baik-baik.

Baik-baik dilihat dari sedotan?! Jelas-jelas main ancam-ancam. Saya langsung turun, kabur dari belakang, sampai keneknya kaget.

Mbak, bukan yang ini lampu merahnya yang mba mau turun.

Nggak apa-apa Bang.

Saya sampai loncat bahkan dari belakang kopaja dan jalan kaki untuk sampai di lampu merah yang seharusnya saya turun.

Sampai di lampu merah itu, saya bingung lagi, karena jalan kaki untuk sampai ke RSPP sepertinya masih jauh.. tapi akhirnya Alhamdulillah ada bajaj.

BACA:  Tetangga Saling Menyangga, Bukan Menyanggah

Pas naik, Abangnya minta 20 ribu. Entah mengapa saya menawar, kayanya efek kesal dari preman-preman sebelumnya, karena biasanya saya hampir tidak pernah menawar kalau naik bajaj.

Kenapa saya bilang saya hampir tidak pernah menawar (kecuali kalau Abangnya kasih harga kebangetan, biasanya saya langsung ngacir, males nawar sambil bilang..nggak Bang, saya naik taksi aja kalau segitu)

Saya belajar tidak menawar karena ingat pesan AA Gym…beliau dalam salah 1 ceramahnya bilang, ‘Orang kecil jangan ditawar.. Tukang bajaj, tukang sayur, tukang buah…lebihnya siapa tahu buat bayar listrik, bayar sekolah, beli makanan..ini Ibu-ibu kalau bisa belanja yang mahal senengggg banget kan? Nah kenapa pas sama orang kecil, nawarnya sadis banget.

Kembali ke cerita tadi.

Abangnya pasrah saya tawar 15 ribu, malah dengan sok tahu saya bilang..kan RSPP dekat Bang, itu atap gedungnya saja kelihatan.

Abangnya mengangguk dengan pasrah dan berhubung saya lagi dongkol sama preman-preman tadi, saya cuek aja melihat wajah pasrah abangnya.

Ternyata..onde mandeee...jauh memang. Harusnya RSPP sudah dekat..tapi karena bajaj, dia harus mutar dulu  kemana-mana dan di dalam bajaj, saya jadi tertawa tertahan sendiri. Saya sadar, saya tanpa sadar sudah mendzalimi hak Abang bajaj ini.

Pas turun, saya berikan 25 ribu. Abangnya senyum..kok dilebihkan mba?

Saya nyengir malu. Iya Bang..ternyata jauh ya..maaf saya nga tahu.

Abangnya jadi tersenyum lebar, Alhamdulillah katanya.

Alhamdulillah. Akhirnya cerita curhat hati dan dongkol saya ini selesai juga

ps. Saudaraku, jangan mengancam, apalagi untuk meminta orang lain beramal. Memintalah dengan ikhlas dan santun, insya Allah ikhlas juga tangan yang nanti akan memberi.


Lets Share:

Leave a Reply