Beralih dari Berkebun Organik ke Metode Guyurponik

Lets Share:

Hobi saya membuat kue dan berkebun. Katanya sih yang suka memasak, biasanya suka berkebun juga. Tapi saya sih tidak bisa memasak, saya lebih suka membuat kue daripada memasak. Mungkin karena di rumah sudah ada yang jago masak, jadi ya udah saya mah apa atuh… Jadi saya melipir dan memilih belajar membuat kue dan ternyata saya menyukainya.

Nah mungkin karena saya kurang suka memasak, jadi hobi saya berkebun itu pun jadi agak-agak kurang naturalis gitu. Jadi saya senang berkebun tapi tidak senang berurusan dengan aneka hewan yang ada di dalam tanah. Kalau boleh sedikit curcol, saat sedang belajar masak pun saya setress kalau mesti berhadapan dengan bahan makanan yang masih berbentuk hewan. Beraninya cuma menghadapi fillet ayam, fillet ikan dan daging yang sudah dipotong rapi, pokoknya sudah tidak lagi berbentuk hewan.

Ini pun berimbas pada kegemaran saya berkebun. Yah seperti yang pernah saya tulis di sini, berkebun itu membuat saya harus belajar menguatkan hati berurusan dengan aneka hewan yang masih hidup. Tidak mudah, sehingga ketika akhirnya saya berhasil mengatasinya maka itu perlu dirayakan dengan menceritakannya di sini.

Musuh terbesar saya dalam berkebun organik ternyataaa …

Planterbag pun diturunkan dari balkon dan ditempatkan di lahan kosong depan rumah

Akan tetapi, masalah terbesar saya dalam berkebun organik itu ternyata bukan cacing. Cacing hanyalah makhluk luar biasa lemah. yang kalau dia berani-beranian keluar dari dalam tanah dan melata di permukaan kering, itu berarti ia menjemput ajalnya sendiri. Cacing itu mesti dikasihi dan dilindungi sodara-sodara. Lalu siapa masalah terbesar saya? Mereka adalah para centipedes dan milipedes, alias luwing dan kaki seribu …

Alkisah saat saya sedang semangat belajar mengelola sampah organik untuk diubah menjadi kompos dan media tanam, tak sengaja saya membawa seekor, mungkin dua ekor, mungkin tiga ekor, atau mungkin lebih para baby kaki seribu ini ke area kebun mini saya di lantai 2. Dalam setahun, saya sebenarnya mulai melihat mereka tampak sesekali wira-wiri di permukaan media tanam di planter bag. Saat itu saya tidak terlalu peduli, apalagi panen sayuran saya lumayan sukses dan saya pun sedang menghadapi ujian berkebun tahap berikutnya sebagai pekebun pemula, yaitu serangan hama aphids dan aneka kutu-kutuan.

BACA:  My Dad, My Hero

Dua tahun berlalu, dan akhirnya saya harus menghadapi ledakan populasi kaki seribu. Mereka tidak lagi hanya berjalan-jalan di permukaan planter bag, tapi mulai turun ke lantai dan menjelajahi seluruh ruangan di dalam rumah. Ini jelas lebih mengerikan daripada sekedar cacing yang ada di dalam pot.

Singkat cerita, saya pun memutuskan untuk menurunkan dan mengeluarkan semua planter bag saya dari dalam rumah, ketika dua kali saya menemukan si kaki seribu ini sudah berani jalan-jalan di atas kasur dan bantal tempat tidur. Ok. Sudah cukup. Lo.Gue.End.

Kebun lantai 2 saya pun mendadak jadi kosong, dan terasa pula rasa kosong di hati. Betapa tidak, sadar atau tidak sadar, tiap pagi berada di tengah-tengah tanaman sayuran yang hijau segar itu membuat perasaan bahagia yang sulit diceritakan dan mungkin sulit dipahami oleh teman-teman yang belum pernah berkebun.

Berkebun memang metode healing yang luar biasa ampuh ketika pikiran mulai terasa sumpek. Berada ditengah-tengah daun-daunan yang hijau segar dengan tetesan embun yang masih melekat di permukaannya serasa berada di tempat relaksasi terbaik di dunia.

Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka. Sungguh, Dia Maha Penyantun lagi Maha Pengampun“. (QS. Al-Isra’ [17]:44)

Mungkin telinga saya memang tidak bisa mendengar suara tasbih tanaman-tanaman di sekitar saya, tapi sesuatu yang lebih dalam jauh di lubuk sanubari sana bisa merasakan ketenangan saat berdekatan dengan tanaman-tanaman yang sedang bertasbih ini. Tak heran hati memang selalu terasa damai ketika dekat dengan mereka, tanaman-tanaman saya.

BACA:  Etika Bermedia Sosial: Belajar Dari Kasus Eko Kuntadhi dan Ning Imaz

Dan ketika rasanya sudah tak tertahankan, akhirnya saya mengeluarkan lagi perlengkapan hidroponik dan mulai setup paralon, pompa dlsb. Saya memiliki dua jenis hidroponik set yaitu DFT horizontal dan Vertical. Tadaaa saya pun berkebun hidroponik.

Tanam Bayam dengan Hidroponik Vertikal

Berkebun hidroponik dengan menggunakan air sebagai media, mempunyai sedikit kekurangan yaitu tergantung pada listrik. Memang sih di rumah saya jarang ada pemadaman listrik, tapi lebih kepada rasanya mikirin terus penggunaan listrik di rumah. Walau pun tidak ada kenaikan tagihan listrik yang signifikan. Tapi saya tetap kepikiran, namanya juga mamak-mamak … 🙂

Metode Guyurponik, Hidroponik tanpa listrik

Berbekal situasi ini, maka saya mengeluarkan lagi planter bag dan pot-pot yang dulu saya gunakan untuk berkebun organik. Media tanam yang digunakan adalah coco peat dicampur dengan sekam bakar. Bibit-bibit sayuran yang sudah mulai muncul 4 daun di rockwool, saya tanam di dalam pot yang berisi sekam bakar dan cocopeat. Sayuran ini disiram tiap hari dengan cairan nutrisi hidroponik yang PPMnya pun disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing jenis sayuran.

Karena media tanamnya hanya menggunakan coco peat dan sekam bakar, maka bisa dijamin 100% tidak ada telur cacing atau luwing yang akan terbawa. Terutama bila kita menggunakan coco peat yang sudah dikeringkan berbentuk balok.

Alhamdulillah, metode guyurponik ini menunjukkan kecepatan tumbuh sayuran yang tidak kalah cepat dibandingkan dengan metode hidroponik dengan air. Yaa ada kelambatan sedikit sih tapi gak terlalu signifikan kok. Ohya sebelumnya harus dijelaskan dulu bahwa berkebun hidroponik tidak selalu berarti harus menggunakan media air. Hidroponik secara luas digunakan sebagai terminologi berkebun tanpa media tanah atau soiless, dengan pemberian nutrisi untuk tanaman dalam bentuk cairan yang sudah diracik dan disesuaikan kebutuhannya untuk tiap tanaman. Sehingga teknik berkebun dengan menggunakan peat moss, coco peat, sabut kelapa, sekam bakar, sekam padi, serbuk gergaji dan lainnya asalkan bukan tanah, maka tetap bisa disebut sebagai hidroponik.

BACA:  Yuk Buat Scrub Kopi Untuk Kurangi Selulit Pada Kulit
Tomat Cherry Berbuah Lebat dengan Guyurponik

Selain sayur-sayuran daun, saya juga menanam aneka cabe, tomat cherry dan terong yang jelas-jelas tidak bisa masuk ke set Hidroponik DFT saya. Hasil buahnya sangat memuaskan dan lebih mudah diurus daripada harus men-setup sistem dutch bucket untuk jenis tanaman yang tingginya bisa lebih dari 30 cm dan bertajuk lebar seperti terong dan cabe ini. Sementara untuk sayur-sayuran daun, saya masih lebih memilih metode hidroponik DFT dan NFT yang kecepatan tumbuhnya memang jauh lebih cepat.

Kesimpulan saya metode Guyurponik adalah metode bertanam yang menurut saya paling mudah dan cukup efektif dalam menghasilkan sayur-sayuran daun dan sayur-sayuran buah seperti tomat dan cabe. Dengan guyurponik, terong terus-menerus berbuah tanpa henti, belum tahu nih sampai kapan si terong hidup dan terus berbuah. Sampai tulisan ini dibuat, umur terong sudah setahun. Sementara tomat cherry pun berbuah dengan lebatnya sampai akhirnya ia mencapai batas umurnya dan perlahan mati.

Akhirnya balkon lantai dua rumah saya pun kembali semarak dengan aneka sayuran daun dan sayuran buah yang tumbuh dengan subur, tanpa saya harus kuatir terjadinya ledakan populasi milipedes dan centipedes seperti dulu.

Latest posts by Ferona Yulia (see all)

Lets Share:

Leave a Reply